Kesesuain Metode Dalam Mencari Ilmu


Pentingnya metode yang sesuai dalam mencari ilmu syariat

Oleh: M. Zayyin Khotmana


   Dewasa ini, semangat para kaum milenial dalam berdakwah, menggaungkan agama,dan berbicara tentang hukum syariat begitu tinggi.Seolah olah menjadi fenomena yang ngetrend bagi sebagian kalangan anak muda. Bahkan artis-artis televisi banyak yang mulai menjangkau tersebut. 

   Namun ironisnya mereka-mereka yang begitu semangat dalam berbicara tentang ilmu agama,tidak dibekali dengan piranti-piranti yang sesuai dalam mencari atau menyampaikan ilmu agama itu sendiri. Hanya bermodalkan Hijrah, Video-video di sosial media seperti youtube,instagram dll. Cukup menjadi legitimasi sebagian oknum untuk mengemukakan pendapat terkait hukum keagamaan.

   Lebih parahnya lagi, ada yang hanya dengan baca Al-Qur’an atau Hadist terjemah lalu di tafsirkan secara serampangan menurut akal masing-masing. tidak tahu apa itu asbabunnuzul,Tafsir,Asbabulwurud dan lain sebagainya


   Sehingga ini menjadi kegelisahan bagi kaum intelektual islam pada masa ini seperti para kiyai-kiyai bangsa.


   Yang perlu digaris bawahi disini adalah, Kita tidak menganggap fenomena diatas sebagai kesalahan.Sama sekali tidak. Justru itu adalah hal yang sangat bagus dan perlu didukung. Menggunakan sosial media untuk hal-hal tersebut adalah sangat baik. Hijrahnya para kaum milenial atau artis  merupakan hal yang sangat bagus. Berarti hidayah turun pada mereka. Namun metode ini tidak boleh jadi acuan utama.

   Ada sisi-sisi pada fenomena ini yang tidak pas. Yaitu abainya mereka pada aspek penting dalam mencari ilmu.


   Dalam mencari ilmu agama ada satu aspek yang begitu penting, dan menurut kami tidak bisa di toleransi. Yaitu adanya guru yang membimbing kita. Dengan adanya guru, maka kita bisa diarahkan sesuai dengan porsi kita. Apa yang diajarkan pasti akan sesuai dengan kapasitas,tingkatan,serta kemampuan kita. Mulai dari tingkatan-tingkatan yang akan ditempuh oleh pencari ilmu. Mubtadi’ ,Mutawasit, Muntahi. Sehingga akan beraturan yang didapatkan oleh para pencari ilmu. Karena satu permasalahan tidak hanya selesai dalam satu pembahasan saja.

   Analogi sederhana “bayi baru lahir hanya boleh minum asi. Bagaimana jika bayi baru lahir langsung diberi minum kopi yang natabene minuman orang dewasa”. Dalam ilmupun seperti itu.Bagaimana seorang pemula langsung disuruh berijtihad bersumber Al-Qur’an dan Hadist.

   Contoh permasalahan yang sederhana dalam fiqh, pada tingkatan mubtadi’ kita akan di berikan langsung hukum yang sudah di masak oleh ulama’ yang berkompeten berlandaskan sumber hukum islam,dua yang utama Al-Qur’an dan Hadist.

Contoh: Rukun Sholat ada 17 mulai niat sampai salam.

   Tingkatan selanjutnya kita akan mulai menghadapi permasalahan-permasalahan baru yang agak rumit. Seperti penjelasan perbagian dari rukun sholat seperti bagaimana. Sampai nanti pada tingkatan mengapa kok bisa rukun sholat ada 17 itu bagaimana.

(Rukun Sholat hanya sebagai contoh kecil)

      Jika tidak atas bimbingan guru, Kita akan cenderung ingin melahap tingkatan ilmu yang paling tinggi. Karena apa? Karena kita akan merasa keren bisa memahami tingkatan paling tinggi. Mengabaikan tingkatan-tingkatan dibawahnya. Padahal itu adalah NAFSU! yang terbungkus. Dengan bimbingan guru, kita bisa terarahkan dengan baik.

   Jika tidak atas bimbingan guru, Maka tidak ada tersambungnya sanad keilmuan. Padahal sanad adalah hal penting dalam tradisi keilmuan. Dengan adanya sanad maka orisinialitas pemahaman bisa terjaga. Andaikan ada orang membaca kitab, tanpa pentashihan dari guru lalu terjadi salah pemahaman.Pemahaman tersebut mengalir bak air disungai,sehingga bisa menyesatkan orang lain. Meskipun sealim-alimnya manusia, bisa saja mengalami kesalahan. Dengan guru maka hal tersebut bisa diminimalisir. “Karena pemahaman dari yang dikehendaki sesuai dengan yang disampaikan”


dikatakan

الإسناد من الدين،لولا الإسناد لقال 

من شاء ما شاء

“Sanad sebagian dari agama,jika tidak ada sanad maka orang-orang akan berkata seenaknya”


dikatakan

من لم يكن له شيخ،فشيخه الشيطان


“Barangsiapa(Pencari ilmu) yang tidak memiliki guru,maka gurunya adalah syaithon”



“loh,saya kan dengar ceramah dari youtube dari seorang ustad/kyai yang sudah jelas sanad keilmuanya”

iyaa benar,kamu mendengar dari sumber yang sudah jelas,namun minusnya kamu tidak tertuntun dalam metode pencarian ilmu dengan hanya menonton video.Kamu juga belum tentu saatnya mendengar pelajaran itu. Sehingga kamu belum memahami maksudnya sehingga salah faham

“loh,saya membaca buku karangan ulama masyhur bukanya sama saja saya mengambil faedah darinya”

iya benar kamu mengambil faedah dari penulis buku,namun buku yang kamu baca belum tentu porsimu,namun kamu memaksa untuk membacanya. Ternyata terjadi kesalahan pemahaman.

ini contoh dari “maka gurunya syetan”

Bukan ustadznya yang salah, bukan penulisnya yang salah. Ternyata kamu yang salah.


   Ulama sekaliber Imam Syafi’i RA yang sudah hafal Muwattha’ tetap berguru pada pengarangnya langsung.Yaitu Imam Malik RA. Lalu diberi kuasa untuk berfatwa. Seperti inilah gambaran pentingnya guru dalam hidup kita.

Komentar

  1. Sangat sangat matoh jaya yin... kita butuh pemuda yg memiliki pena tajam.... lanjutkaaaan

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. MasyaAllah MasyaAllah MasyaAllah... Sendiko dawuh Gus.. barakllahulak..

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  5. Maa syaa Allah, sipp. Belajarlah sungguh-sungguh kepada guru sehingga kelak mampu menjadi seorang guru bagi orang-orang yang membutuhkan guru.

    BalasHapus
  6. Dan Muhammad Abduh pernah berkata dalam esainya

    "Aku melihat mu'min dimesir namun aku tak melihat Islam didalamnya"


    BalasHapus
  7. Implementasi khouf dan roja'nya sudah tepat.



    Tapi solusinya masih kurang mengena karena masyarakat kita cenderung lebih bersosial media,maka dari situ fardhu ain bagi para kiyai" kita ( yg memiliki sanad dan yg sudah berguru ) / para kiyai" Mengkader cendikiawan muslim muda seperti antum untuk mberikan suatu kajian sosial media agar tidak di isi oleh orang" kaum hijrah yg hanya memahami tekstual belaka.


    Agar mutadol Maqom serta Mutadol halnya dapet serta tidak adanya melukai satu sama yg lainnya,karena الأخوة الإنسانية في الأديان السماوية sangat dijunjung luhur.


    ( Bisa dicek diwebsite http://www.kopiah.co yg mengenai fardhu ain bagi para kiyai bersosial media )

    BalasHapus
    Balasan
    1. Matursuwun gus, Menarik kita bahas selanjutnya🙏🏻

      Hapus
    2. Matursuwun gus, Menarik kita bahas selanjutnya🙏🏻

      Hapus
  8. Suwun Gus🙏🙏 , tambah wawasan , tak entosi selanjute🙏

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lekas Sehat NKRIku